Aku tetap pada keinginanku, 15 menit
lagi ! Dan sejak 15 menit lalu pula kakakku, Stella, terus mengoyang-goyangkan
tubuhku yang tertutup penuh dengan selimut tipis yang dijahit sendiri oleh ibu.
“Hai
bangun !” teriaknya.
“Hnn…”
jawabku sambil tetap terbaring.
Teriakannya
semakin keras, hingga akhirnya ia menarik selimutku.
“Stella !”
teriakku dengan keras lalu merebut kembali selimutku.
“Ayo cepat
bangun !”
“15 menit lagi
!!”
Stella terdiam.
Seketika hening.
“Baiklah jika
itu maumu.” Ucapnya lalu pergi meninggalkan kamarku tanpa menutup pintu.
Aku bersyukur ia
telah pergi, itu artinya aku bisa bebas. Sejujurnya aku tidak lupa jika hari
ini keluargaku akan pergi kerumah nenek yang berada didaerah kaki gunung. Hanya
saja aku mungkin agak sedikit lelah setelah begadang semalaman.
Menonton film
tengah malam ataupun sampai malam adalah hobiku sejak dulu. Menurutku itu
sangat menyenangkan. Terkadang aku bangun tidur disaat matahari telah
menampakkan sinarnya. Dan aku bersyukur karena sekolahku dimulai tepat pukul 9
pagi.
Kembali kecerita
sebelumnya. Aku menggunakan sisa waktu tidurku yang separuhnya telah digunakan
untuk berdebat dengan Stella, yaitu untuk melanjutkan kembali tidurku. Akan
tetapi…,
Ssrhs..
Aku mendengar suara
air mengalir dan merasakan air itu mengalir didekat telingaku.
Ya Tuhan !!
Ternyata Stella menyiramku dengan air yang ia ambil tadi saat pergi dari
kamarku !
“Stella !”
Bentakku.
Aku balas
menyiramnya dengan segelas air diatas mejaku yang terletak tidak jauh dari
tempat tidur, sayang sekali air itu hanya mengenai ujung rambut panjangnya yang
terurai.
“Berani kau
Grace !” Stella balas membentakku.
“Kalian berdua
kenapa?”
Suara seorang
laki-laki yang sangat hangat dan begitu kami kenal menghentikan perkelahian
kami.
“Ayah..”
Stella terdiam.
Begitupun aku.
“Kalian ini
seperti anak kecil saja. Grace cepat bersiap, kau tidak lupakan hari ini kita
akan pergi? Dan Stella, rapihkan dulu kamarmu.” Perintah ayah.
Kami berdua
menuruti perintah ayah. Stella beranjak dari kamarku sambil tetap menatapku
dengan sinis. Tidak mau kalah aku membalas tatapannya dengan lebih tajam lagi.
Sejak ibu
meninggal dunia, aku dan Stella tidak pernah akrab. Kami selalu bertengkar dan
mempermasalahkan sesuatu sekecil apapun masalah itu. Bahkan aku tidak ingat
kapan terakhir aku memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’.
Kami berangkat
menuju rumah nenek sekitar jam 10 pagi. Memang cukup terlambat dari waktu yang
direncanakan. Kami harus membereskan rumah terlebih dahulu, karena setelah
mengantar kami dan menginap satu hari ayah akan melanjutkan perjalanan menuju
bandara ke luar kota dan terbang dengan pesawat yang sudah dipesan sebelumnya.
Perjalanan dari
kota ke kaki gunung sangat jauh. Benar-benar jauh. Memakan perjalanan kurang
lebih 5 jam. Aku pikir ayah sangat hebat. Meskipun sudah tua ayah masih sanggup
bekerja dan berpergian.
Setengah
perjalanan kami dengan saling terdiam dan asyik sendiri dengan permainan kami
masing-masing. Ayah yang mengendarai mobil sesekali mengajak kami bicara, tapi
kami berdua menghiraukan gurauan ayah yang bermaksud mengajak kami tertawa.
Betapa jahatnya kami.
“Kalian bosan?”
Tanya ayah.
“Ayah ingin
pilihan jujur, setengah jujur atau tidak jujur?” Tanya Stella.
“Terserah
kalian.” Jawab ayah.
“Aku senang.”
Ucap Stella.
Aku menahan tawa
mendengar jawaban Stella. Ayah juga hanya tersenyum tipis. Kami tau, dia pasti
sedang tidak jujur. Dia tidak bisa menyembunyikan hal apapun dari ayah ataupun aku.
“Kau Grace?”
Tanya ayah padaku.
“Aku? Perjalanan
kali ini adalah perjalanan paling sepi yang pernah kau lewati.” Jawabku.
Ayah kembail
tersenyum tipis, Stella juga. Aku menunduk dan kembali memainkan games diponselku.
Beberapa jam
kemudian kami sampai ditempat yang kami tuju, rumah nenek. Suasana santai dan
udara hangat telah memasuki tubuh kami. Tepat jam 3 lewat 15 kami sampai
ditempat tujuan kami. Sore hari akan sangat sayang bila dilewatkan, karena kita
bisa melihat matahari terbenam dengan jelas disini.
Rumah nenek
berada tidak jauh dari pagar tebing untuk melindungi kita semua jika ingin
menikmati sore hari ditempat ini. Di beranda rumah nenek terdapat beberapa
kursi dan sebuah meja kecil untuk minum teh. Lalu dihalaman sebelah kanan
terdapat taman kecil yang berisi berbagai macam bunga, sedangkan disebelah kiri
terdapa sumur kecil dan air mancul yang juga berukuran kecil.
“Kalian sudah
makan siang? Ayo kita makan.” tawar nenek pada kami.
Nenek sangat
pintar memasak. Dulu saat musim panas, nenek, ibu, aku dan Stella sering
membuat kue bersama lalu dibagikan kepada para tetangga didekat rumah nenek.
Nenek mengajari aku dan Stella dengan sangat sabar. Nenek merupakan pribadi
yang sangat baik untuk dicontoh. Dia sangat baik.
“Kalian masih
sering bertengkar?” Tanya nenek pada aku dan Stella.
Aku menunduk dan
tersenyum malu. Stella mengangguk pelan dengan ragu. Lalu nenek ikut tersenyum.
“Kejadiannya
sudah 5 tahun yang lalu, tapi ternyata sampai sekarang kalian masih bertengkar.
Kalian harus akur.” Nasehat nenek menyentuh tepat hati kami.
Kami berdua
mengangguk. Sedangkan ayah hanya tersenyum menahan tawa.
Saat matahari
mulai terbenam, aku dan Stella duduk dipagar tebing yang kebetulan tidak
terlalu tinggi dan terbuat dari besi. Ini menjadi sebuah kebiasaan kami jika
sedang berlibur dirumah nenek.
Saat musim semi
desa tempat nenek tinggal akan terlihat jauh lebih indah. Lebih banyak bunga-bunga
yang bertebaran dimana-mana, udara hangat jauh lebih terasa dibanding musim
panas. Jauh lebih indah, tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
“Bunga nenek
cantik ya. Andai saja aku bisa menanamnya di kota.” Ujar Stella.
Cukup
mengagetkan. Ya, aku jarang sekali bicara dengannya. Biasanya aku bicara
dengannya saat bertengkar saja.
“Memangnya
kenapa tidak bisa?” Tanyaku.
“Terlalu banyak
polusi.”
Aku mengangguk.
Stella memang sangat suka pada bunga. Dulu ibu sangat sering memberikan Stella
bunga. Ibu memang pernah mengatakan bunga yang sering terkena polusi maka akan
tidak akan tumbuh dengan bagus, entah warnanya yang pudar atau yang lainnya.
“Stella dimana
nek?” Tanyaku.
“Ditaman.”
“Lagi?”
“Iya, dia sangat
suka disana.” Kata nenek sambil tersenyum manis.
Aku menghampiri
Stella yang berada ditaman.
“Mau
jalan-jalan.. Kak?” Tawarku. Kakak, ya aku memanggilnya kakak.
Ia mengangguk
senang. Dijalan-jalan menuju lapangan tempat biasa diadakan festival tahunan
tedapat banyak sekali bunga. Terlebih di lapangan festival itu sendiri.
Kami berdua
menelusuri jalan setapak yang masih berupa tanah yang masih sangat subur.
Stella terlihat sangat menikmati penjelajahan kecil kami. Aku tau sebenarnya
dia sangat ingin berjalan-jalan, hanya saja ia tidak memiliki teman.
Sampai ditaman
festival, kami duduk dibangku taman yang terdapat di pojok taman. Kami duduk
bersebelahan lalu mengobrol panjang membahas bunga.
“Aku ingin
sekali tinggal disini.” Ucap Stella.
“Haha.. Disini
sekolah berjarak sangat jauh. Ayah tidak akan mengijinkannya. Oh iya, ayah
sudah berangkat?” Kataku.
“Iya.” Stella
mengangguk. Mungkin tidak, tapi aku akan memilih tinggal disini begitu lulus
sekolah nanti, dan bekerja menjadi seorang penjual bunga.” Lanjut Stella.
“Kau serius?”
Stella
mengangguk cepat. Sepertinya ia sangat yakin dan tahu persis apa yang sedang ia
bicarakan. Aku tersenyum. Keinginannya sangat keras, aku percaya tidak ada yang
sanggup melarangnya.
“Kau ingat kapan
ulang tahun Stella?” Tanya nenek.
“Iiiiyaaa.. 1
bulan lagi.” Jawabku.
“Nenek punya
kejutan untuknya.”
“Apa itu?”
Nenek
membisikanku. Cemerlang ! Aku sangat suka rencana nenek ! Keren ! Umm.. Nanti
kalian akan aku beritahu apa itu J
Hari esoknya
kami memulai rencana kami dengan memanfaatkan tanah nenek yang berada disisi
lain desa. Cukup jauh dan Stella tidak akan mau pergi kesana. Ya, kami akan membuat sebuah taman pelangi untuk
Stella ! Aku yakin dia akan senang. Karena pengerjaannya cukup lama, kami
sengaja untuk memulai jauh-jauh hari.
Taman ini
sengaja ingin nenek buat karena nenek tau cita-cita Stella yang ingin menjadi
seorang penjual bunga. Memang terlihat sederhana. Tapi dia sangat mencintai hal
itu.
3 hari sebelum
ulang tahun Stella, kami sengaja pergi pagi-pagi buta dan pulang selalu tengah
malam. Aku rasa Stella pasti curiga dengan apa yang aku dan nenek lakukan. Tapi
biarkanlah..
“Selamat hari
spesial !” Teriakku lalu menarik selimut Stella.
“Grace?” Stella
tampak kebingungan.
“Iya. Hari
special.” Jawabku mencoba mengingatkannya.
“Hari ini..?
Grace, aku tidak menyangka kau akan ingat hari ulang tahunku.” Ucap Stella lalu
memelukku.
Aku tersenyum
hangat lalu memeluknya. Aku merasa semakin lama kami semakin dekat dan ini
sangat membuatku bahagia.
“Nenek mana?
Ayah? Ayah janji pulang hari ini.” Ujar Stella.
“Nenek sedang
keluar untuk membeli kue. Penerbangan ayah dijadwalkan malam hari nanti sekitar
pukul 11 malam.” Jawabku.
Stella tampak
sedikit kecewa. Tapi aku juga dapat melihat senyuman manis terpancar dari
bibirnya yang manis. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya nenek pulang membawa
sebuah kue coklat berukuran sedang kesukaan Stella. Aku dan nenek tidak sempat
membuat kue karena terlalu sibuk dengan kebun.
“Kuenya terlalu
besar untuk kita bertiga.” Kata Stella.
Aku dan nenek
hanya tersenyum mendengar kata-kata Stella.
Ulang tahun
Stella kali ini tidak terlalu spesial seperti biasanya. Kami tetap harus melakukan
seluruh pekerjaan rumah seperti biasa. Hanya saja ada sedikit yang berbeda…
Menjelang
matahari terbenam, aku mengajak Stella dan nenek untuk melihat matahari
terbenam. Lebih indah dari biasanya.
“Akan lebih
indah bila ada ayah dan ibu.” Ujar Stella menahan tangis.
Aku dan nenek
tertawa dan memeluk Stella. Dia juga memeluk kami dan tertawa.
Setelah matahari
terbenam, aku dan nenek memulai kejutan di kebun untuk Stella. Kami menyelusuri
jalan setapak yang sedikit lebih besar sambil bergurau dan tertawa.
Menceritakan masa masa lalu yang lucu dan indah.
Kebun terlihat
gelap dan biasa saja. Akan tetapi setelah ayah menyalakan lampu taman… Pelangi
pun seperti terpancar dari warna warni bunga yang aku dan nenek tanam dengan
rapih. Stella terkejut, terlebih karena tiba-tiba ada ayah dikebun itu.
Mula mula Stella
tersenyum, tertawa, lalu menitikkan air mata sambil tetap tertawa.
“Ya Tuhan,
terima kasih.” Stella menyeka air matanya.
Nenek memeluk
Stella, ayah juga memeluk Stella, tidak mau ketinggalan akupun memeluk Stella.
Kamipun berpelukan layaknya sebuah keluarga yang sangat bahagia. Kami merasakan
ibu juga ikut memeluk kami saat ini.
Indah, bahagia,
dan menyenangkan. Aku tidak tahu apakah kalimat itu memiliki arti yang dekat
atau tidak. Yang aku tahu saat ini aku sangat bahagia ditengah keluarga yang
menyenangkan ditempat yang begitu indah.
Mulai detik ini
aku dan Stella akan menjadi sepasang adik-kakak ‘sesungguhnya’. Cinta keluarga
yang aku dapatkan sangat hangat dan besar, lebih besar dari cinta sahabatku
kepadaku, dan tentunya lebih besar dari cinta seorang yang sebelumnya bukan
siapa-siapa untukku.
Sukses ! Kejutan
untuk saudariku tercinta, Stella. Yap, kebun pelangi… Pelangi untuk Stella.