Sabtu, 27 April 2013

Cerpen: "Pelangi Untuk Stella"


Aku tetap pada keinginanku, 15 menit lagi ! Dan sejak 15 menit lalu pula kakakku, Stella, terus mengoyang-goyangkan tubuhku yang tertutup penuh dengan selimut tipis yang dijahit sendiri oleh ibu.

            “Hai bangun !” teriaknya.

            “Hnn…” jawabku sambil tetap terbaring.

Teriakannya semakin keras, hingga akhirnya ia menarik selimutku.

“Stella !” teriakku dengan keras lalu merebut kembali selimutku.

“Ayo cepat bangun !”

“15 menit lagi !!”

Stella terdiam. Seketika hening.

“Baiklah jika itu maumu.” Ucapnya lalu pergi meninggalkan kamarku tanpa menutup pintu.

Aku bersyukur ia telah pergi, itu artinya aku bisa bebas. Sejujurnya aku tidak lupa jika hari ini keluargaku akan pergi kerumah nenek yang berada didaerah kaki gunung. Hanya saja aku mungkin agak sedikit lelah setelah begadang semalaman.

Menonton film tengah malam ataupun sampai malam adalah hobiku sejak dulu. Menurutku itu sangat menyenangkan. Terkadang aku bangun tidur disaat matahari telah menampakkan sinarnya. Dan aku bersyukur karena sekolahku dimulai tepat pukul 9 pagi.

Kembali kecerita sebelumnya. Aku menggunakan sisa waktu tidurku yang separuhnya telah digunakan untuk berdebat dengan Stella, yaitu untuk melanjutkan kembali tidurku. Akan tetapi…,

Ssrhs..

Aku mendengar suara air mengalir dan merasakan air itu mengalir didekat telingaku.

Ya Tuhan !! Ternyata Stella menyiramku dengan air yang ia ambil tadi saat pergi dari kamarku !

“Stella !” Bentakku.

Aku balas menyiramnya dengan segelas air diatas mejaku yang terletak tidak jauh dari tempat tidur, sayang sekali air itu hanya mengenai ujung rambut panjangnya yang terurai.


“Berani kau Grace !” Stella balas membentakku.

“Kalian berdua kenapa?”

Suara seorang laki-laki yang sangat hangat dan begitu kami kenal menghentikan perkelahian kami.

“Ayah..”

Stella terdiam. Begitupun aku.

“Kalian ini seperti anak kecil saja. Grace cepat bersiap, kau tidak lupakan hari ini kita akan pergi? Dan Stella, rapihkan dulu kamarmu.” Perintah ayah.

Kami berdua menuruti perintah ayah. Stella beranjak dari kamarku sambil tetap menatapku dengan sinis. Tidak mau kalah aku membalas tatapannya dengan lebih tajam lagi.

Sejak ibu meninggal dunia, aku dan Stella tidak pernah akrab. Kami selalu bertengkar dan mempermasalahkan sesuatu sekecil apapun masalah itu. Bahkan aku tidak ingat kapan terakhir aku memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’.

Kami berangkat menuju rumah nenek sekitar jam 10 pagi. Memang cukup terlambat dari waktu yang direncanakan. Kami harus membereskan rumah terlebih dahulu, karena setelah mengantar kami dan menginap satu hari ayah akan melanjutkan perjalanan menuju bandara ke luar kota dan terbang dengan pesawat yang sudah dipesan sebelumnya.

Perjalanan dari kota ke kaki gunung sangat jauh. Benar-benar jauh. Memakan perjalanan kurang lebih 5 jam. Aku pikir ayah sangat hebat. Meskipun sudah tua ayah masih sanggup bekerja dan berpergian.

Setengah perjalanan kami dengan saling terdiam dan asyik sendiri dengan permainan kami masing-masing. Ayah yang mengendarai mobil sesekali mengajak kami bicara, tapi kami berdua menghiraukan gurauan ayah yang bermaksud mengajak kami tertawa. Betapa jahatnya kami.

“Kalian bosan?” Tanya ayah.

“Ayah ingin pilihan jujur, setengah jujur atau tidak jujur?” Tanya Stella.

“Terserah kalian.” Jawab ayah.

“Aku senang.” Ucap Stella.

Aku menahan tawa mendengar jawaban Stella. Ayah juga hanya tersenyum tipis. Kami tau, dia pasti sedang tidak jujur. Dia tidak bisa menyembunyikan hal apapun dari ayah ataupun aku.

“Kau Grace?” Tanya ayah padaku.

“Aku? Perjalanan kali ini adalah perjalanan paling sepi yang pernah kau lewati.” Jawabku.

Ayah kembail tersenyum tipis, Stella juga. Aku menunduk dan kembali memainkan games diponselku.

Beberapa jam kemudian kami sampai ditempat yang kami tuju, rumah nenek. Suasana santai dan udara hangat telah memasuki tubuh kami. Tepat jam 3 lewat 15 kami sampai ditempat tujuan kami. Sore hari akan sangat sayang bila dilewatkan, karena kita bisa melihat matahari terbenam dengan jelas disini.

Rumah nenek berada tidak jauh dari pagar tebing untuk melindungi kita semua jika ingin menikmati sore hari ditempat ini. Di beranda rumah nenek terdapat beberapa kursi dan sebuah meja kecil untuk minum teh. Lalu dihalaman sebelah kanan terdapat taman kecil yang berisi berbagai macam bunga, sedangkan disebelah kiri terdapa sumur kecil dan air mancul yang juga berukuran kecil.

“Kalian sudah makan siang? Ayo kita makan.” tawar nenek pada kami.

Nenek sangat pintar memasak. Dulu saat musim panas, nenek, ibu, aku dan Stella sering membuat kue bersama lalu dibagikan kepada para tetangga didekat rumah nenek. Nenek mengajari aku dan Stella dengan sangat sabar. Nenek merupakan pribadi yang sangat baik untuk dicontoh. Dia sangat baik.

“Kalian masih sering bertengkar?” Tanya nenek pada aku dan Stella.

Aku menunduk dan tersenyum malu. Stella mengangguk pelan dengan ragu. Lalu nenek ikut tersenyum.

“Kejadiannya sudah 5 tahun yang lalu, tapi ternyata sampai sekarang kalian masih bertengkar. Kalian harus akur.” Nasehat nenek menyentuh tepat hati kami.

Kami berdua mengangguk. Sedangkan ayah hanya tersenyum menahan tawa.

Saat matahari mulai terbenam, aku dan Stella duduk dipagar tebing yang kebetulan tidak terlalu tinggi dan terbuat dari besi. Ini menjadi sebuah kebiasaan kami jika sedang berlibur dirumah nenek.

Saat musim semi desa tempat nenek tinggal akan terlihat jauh lebih indah. Lebih banyak bunga-bunga yang bertebaran dimana-mana, udara hangat jauh lebih terasa dibanding musim panas. Jauh lebih indah, tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

“Bunga nenek cantik ya. Andai saja aku bisa menanamnya di kota.” Ujar Stella.

Cukup mengagetkan. Ya, aku jarang sekali bicara dengannya. Biasanya aku bicara dengannya saat bertengkar saja.

“Memangnya kenapa tidak bisa?” Tanyaku.

“Terlalu banyak polusi.”

Aku mengangguk. Stella memang sangat suka pada bunga. Dulu ibu sangat sering memberikan Stella bunga. Ibu memang pernah mengatakan bunga yang sering terkena polusi maka akan tidak akan tumbuh dengan bagus, entah warnanya yang pudar atau yang lainnya.

“Stella dimana nek?” Tanyaku.

“Ditaman.”

“Lagi?”

“Iya, dia sangat suka disana.” Kata nenek sambil tersenyum manis.

Aku menghampiri Stella yang berada ditaman.

“Mau jalan-jalan.. Kak?” Tawarku. Kakak, ya aku memanggilnya kakak.

Ia mengangguk senang. Dijalan-jalan menuju lapangan tempat biasa diadakan festival tahunan tedapat banyak sekali bunga. Terlebih di lapangan festival itu sendiri.

Kami berdua menelusuri jalan setapak yang masih berupa tanah yang masih sangat subur. Stella terlihat sangat menikmati penjelajahan kecil kami. Aku tau sebenarnya dia sangat ingin berjalan-jalan, hanya saja ia tidak memiliki teman.

Sampai ditaman festival, kami duduk dibangku taman yang terdapat di pojok taman. Kami duduk bersebelahan lalu mengobrol panjang membahas bunga.

“Aku ingin sekali tinggal disini.” Ucap Stella.

“Haha.. Disini sekolah berjarak sangat jauh. Ayah tidak akan mengijinkannya. Oh iya, ayah sudah berangkat?” Kataku.

“Iya.” Stella mengangguk. Mungkin tidak, tapi aku akan memilih tinggal disini begitu lulus sekolah nanti, dan bekerja menjadi seorang penjual bunga.” Lanjut Stella.

“Kau serius?”

Stella mengangguk cepat. Sepertinya ia sangat yakin dan tahu persis apa yang sedang ia bicarakan. Aku tersenyum. Keinginannya sangat keras, aku percaya tidak ada yang sanggup melarangnya.

“Kau ingat kapan ulang tahun Stella?” Tanya nenek.

“Iiiiyaaa.. 1 bulan lagi.” Jawabku.

“Nenek punya kejutan untuknya.”

“Apa itu?”

Nenek membisikanku. Cemerlang ! Aku sangat suka rencana nenek ! Keren ! Umm.. Nanti kalian akan aku beritahu apa itu J

Hari esoknya kami memulai rencana kami dengan memanfaatkan tanah nenek yang berada disisi lain desa. Cukup jauh dan Stella tidak akan mau pergi kesana. Ya,  kami akan membuat sebuah taman pelangi untuk Stella ! Aku yakin dia akan senang. Karena pengerjaannya cukup lama, kami sengaja untuk memulai jauh-jauh hari.

Taman ini sengaja ingin nenek buat karena nenek tau cita-cita Stella yang ingin menjadi seorang penjual bunga. Memang terlihat sederhana. Tapi dia sangat mencintai hal itu.
3 hari sebelum ulang tahun Stella, kami sengaja pergi pagi-pagi buta dan pulang selalu tengah malam. Aku rasa Stella pasti curiga dengan apa yang aku dan nenek lakukan. Tapi biarkanlah..

“Selamat hari spesial !” Teriakku lalu menarik selimut Stella.

“Grace?” Stella tampak kebingungan.

“Iya. Hari special.” Jawabku mencoba mengingatkannya.

“Hari ini..? Grace, aku tidak menyangka kau akan ingat hari ulang tahunku.” Ucap Stella lalu memelukku.

Aku tersenyum hangat lalu memeluknya. Aku merasa semakin lama kami semakin dekat dan ini sangat membuatku bahagia.

“Nenek mana? Ayah? Ayah janji pulang hari ini.” Ujar Stella.

“Nenek sedang keluar untuk membeli kue. Penerbangan ayah dijadwalkan malam hari nanti sekitar pukul 11 malam.” Jawabku.

Stella tampak sedikit kecewa. Tapi aku juga dapat melihat senyuman manis terpancar dari bibirnya yang manis. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya nenek pulang membawa sebuah kue coklat berukuran sedang kesukaan Stella. Aku dan nenek tidak sempat membuat kue karena terlalu sibuk dengan kebun.

“Kuenya terlalu besar untuk kita bertiga.” Kata Stella.

Aku dan nenek hanya tersenyum mendengar kata-kata Stella.

Ulang tahun Stella kali ini tidak terlalu spesial seperti biasanya. Kami tetap harus melakukan seluruh pekerjaan rumah seperti biasa. Hanya saja ada sedikit yang berbeda…

Menjelang matahari terbenam, aku mengajak Stella dan nenek untuk melihat matahari terbenam. Lebih indah dari biasanya.

“Akan lebih indah bila ada ayah dan ibu.” Ujar Stella menahan tangis.

Aku dan nenek tertawa dan memeluk Stella. Dia juga memeluk kami dan tertawa.

Setelah matahari terbenam, aku dan nenek memulai kejutan di kebun untuk Stella. Kami menyelusuri jalan setapak yang sedikit lebih besar sambil bergurau dan tertawa. Menceritakan masa masa lalu yang lucu dan indah.

Kebun terlihat gelap dan biasa saja. Akan tetapi setelah ayah menyalakan lampu taman… Pelangi pun seperti terpancar dari warna warni bunga yang aku dan nenek tanam dengan rapih. Stella terkejut, terlebih karena tiba-tiba ada ayah dikebun itu.

Mula mula Stella tersenyum, tertawa, lalu menitikkan air mata sambil tetap tertawa.

“Ya Tuhan, terima kasih.” Stella menyeka air matanya.

Nenek memeluk Stella, ayah juga memeluk Stella, tidak mau ketinggalan akupun memeluk Stella. Kamipun berpelukan layaknya sebuah keluarga yang sangat bahagia. Kami merasakan ibu juga ikut memeluk kami saat ini.

Indah, bahagia, dan menyenangkan. Aku tidak tahu apakah kalimat itu memiliki arti yang dekat atau tidak. Yang aku tahu saat ini aku sangat bahagia ditengah keluarga yang menyenangkan ditempat yang begitu indah.

Mulai detik ini aku dan Stella akan menjadi sepasang adik-kakak ‘sesungguhnya’. Cinta keluarga yang aku dapatkan sangat hangat dan besar, lebih besar dari cinta sahabatku kepadaku, dan tentunya lebih besar dari cinta seorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa untukku.

Sukses ! Kejutan untuk saudariku tercinta, Stella. Yap, kebun pelangi… Pelangi untuk Stella.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar